This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Wednesday, October 17, 2012

Tuntunan Sholat IDUL ADHA


Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata : " Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa salam datang ke madinah, penduduk madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang - senang dan bermain - main di masa jahiliyah. beliau berkata : Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa jahiliyah yang kalian isi dengan main - main. Alloh telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya kurban ('idul Adha) dan hari raya 'idul Fitri" (HR.Ahmad, shahih). Hadits ini menunjukkan bahwa kaum muslimin memiliki hari raya besar yaitu 'idul Adha dan 'idul Fitri.

Hukum Shalat 'id

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat 'id. ada yang berpendapat fardhu kifayah, fardhu 'ain, dan sunnah. namun yang lebih tepatnya adalah fardhu 'ain, artinya wajib bagi setiap kaum muslimin. samapi wanita yang haid pun diperintahkan untuk keluar dari rumahnya untuk ikut merayakan hari raya 'idul Adha begitupula untuk wanita yang haid mereka pun diperintahkan untuk keluar dari rumahnya namun diperintahkan untuk menjauhi tempat shalat.
Ummu'Atiyah radhiyallahu'anha berkata : "Nabi shallahu 'alaihi wa salam memerintahkan kepada kami pada hari raya 'id agar memerintahkan para gadis dan wanita yang dipingit, serta wanita haid. namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haid untuk menjauhi tempat shalat." (HR.Muslim)

Waktu dan tempat pelaksanaannya

waktu dan pelaksanaan shalat 'id adalah pada waktu shalat dhuha. Shiddiq Hasan Khan rahimahulloh mengatakan :"Waktunya adalah setelah meningginya matahari setinggi tombak sampai zawwal (bergeser matahari ke arah barat)". Para Ulama telah ijma' (sepakat) tentang masalah ini.

yang paling utama tempat untuk melaksanakan shalat 'idul 'adha adalah di tanah lapang kecuali jika ada udzur seperti hujan. Abu Sa'id Al Khudri radiyallahu'anhu berkata : "Rasululloh shallallahu'alaihi wa sallam biasa keluar rumah pada hari 'idul fitri dan 'idul adha menuju tanah lapang(HR.Bukhari wa Muslim)"

Berjalan Kaki Menuju Shalat 'Id

Ibnu 'Umar radiyallahu'anhuma mengatakan : "Rasululloh shallallahu'alaihi wa sallam biasa berangkat shalat 'id dengan berjalan kaki begitu pula ketika pulang.(HR.Ibnu Majah, hasan).
dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu'anhu berkata : "Rasululloh shallallohu'alaihi wa sallam jika melaksanakan shalat 'id beliau melewati jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang"(HR.Bukhari)

Mandi dan Memakai Pakaian yang bagus

Ibnu Qudamah rahimahulloh mengatakan : "Dianjurkan untuk mandi pada hari 'id. begitupula dianjurkan untuk memakai pakaian yang bagus. Diriwayatkan bahwa Sahabat Ibnu 'Umar radhiyallahu'anhuma biasa memakai pakaian yang paling bagus pada hari raya 'Id".
Tidak Makan Sebelum Shalat 'Idul 'Adha

Buraidah radhiyallohu'anhu mengatakan : "nabi shallallohu'alaihi wa salam tidak keluar menuju shalat 'idul fitri sebelum makan terlebih dahulu. Adapun pada hari raya kurban beliau tidak makan sebelum pulang dari tempat shalat kemudian memakan sesembelihan beliau"(HR.Tirmidzi, hasan)
Tidak ada Adzan dan Iqomah

Jabir bin Samurah berkata :"Aku pernah melaksanakan shalat 'id bersama Rasululloh shallallohu'alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau dua kali. ketika itu tidak ada adzan dan iqomah"(HR.Muslim)
Tidak Ada Shalat Sebelum dan Sesudahnya

Ibnu 'abbas radhiyallohu'anhuma berkata :"Rasululloh shalallohu'alaihi wa sallam pernah keluar pada hari raya 'idul Adha atau "idul Fitri. beliau mengerjakan shalat shalat dua rakaat namun tidak melaksanakan shalat sunnah sebelum dan sesedahnya"(HR.Bukhari wa Muslim)

Tata Cara Shalat 'Idul Adha

secara ringkas pelaksanaan tata cara shalat 'id sebagai berikut :
1. Dimulai dari takbiratul ihram, seperti shalat yang lainnya.
2. Pada rakaat pertama ditambah takbir tambahan (zawaaid) sebanyak 7 kali selain takbiratul ihram.
3. Pada rakaat kedua ditambah takbir sebanyak 5 kali.
4. Dibolehkan mengangkat tangan ketika takbir tambahan sebagaimana yang dicontohkan sahabat Ibnu Umar radhiyallohu'anhu.
5. Tidak ada dzikir khusus yagn dibaca diantara takbir. Namun terdapat riwayat dari Ibnu Mas'ud radhiyallohu'anhu beliau mengatakan:"Diantara takbir hendaklah memuji Alloh".
6. Setelah selesai takbir tambahan kemudian membacaAl Fatihah dan Surat Pilihan.
7. Dianjurkan untuk membaca surat Qaaf pada rakaat pertama dan surat Al Qomar pada rakaat kedua. atau bisa membaca surat AL A'laa dan Al Ghasiyah.

Jika Hari 'Id Bertepatan dengan Hari Jum'at

Iyas bin Abi Ramlah berkata : "Aku pernah menemani Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya kepada Zaid bin Arqam : Apakah engakau pernah menyaksikan Rasululloh shallallohu'alaihi wa salam bertemu dengan dua 'id (hari raya 'Idul fitri atau 'Idul Adha bertemu dengan hari hari Jum'at) dalam satu hari ?"; "iya", jawab Zaid. kemudian Mu'awiyah bertanya lagi, "Apa yang beliau lakukan ketika itu?" "beliau melaksanakan shalat 'Id dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat jum'at", jawab Zaid. Nabi shallallohu'alaihi wa sallam bersabda:"Siapa yang mau shalat Jum'at, maka silahkan melaksanakannya" (HR.Abu Dawud, shahih)

- Penulis adalah Alumni Ma'had Al 'ilmi (Adika M)
Referensi :
- Ahkaamul 'Idain fii As Sunnah  Al Muthaharah karya Syaikh 'Ali bin Hasan 'Al Halabi hafidzahulloh
-Asy Syahrul Mumti 'alaa Mustaqni' karya Syaikhh Muhammad bin Shalil Al 'Utsmain Rahimahulloh

posted by : aby  

Wednesday, October 10, 2012

Sikap Yang Islami Menghadapi Hari Ulang Tahun


Ada hari yang dirasa spesial bagi kebanyakan orang. Hari yang mengajak untuk melempar jauh ingatan ke belakang, ketika saat ia dilahirkan ke muka bumi, atau ketika masih dalam buaian dan saat-saat masih bermain dengan ceria menikmati masa kecil. Ketika hari itu datang, manusia pun kembali mengangkat jemarinya, untuk menghitung kembali tahun-tahun yang telah dilaluinya di dunia. Ya, hari itu disebut dengan hari ulang tahun. Nah sekarang, pertanyaan yang hendak kita cari tahu jawabannya adalah: bagaimana sikap yang Islami menghadapi hari ulang tahun? Jika hari ulang tahun dihadapi dengan melakukan perayaan, baik berupa acara pesta, atau makan besar, atau syukuran, dan semacamnya maka kita bagi dalam dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, perayaan tersebut dimaksudkan dalam rangka ibadah. Misalnya dimaksudkan sebagai ritualisasi rasa syukur, atau misalnya dengan acara tertentu yang di dalam ada doa-doa atau bacaan dzikir-dzikir tertentu. Atau juga dengan ritual seperti mandi kembang 7 rupa ataupun mandi dengan air biasa namun dengan keyakinan hal tersebut sebagai pembersih dosa-dosa yang telah lalu. Jika demikian maka perayaan ini masuk dalam pembicaraan masalah bid’ah. Karena syukur, doa, dzikir, istighfar (pembersihan dosa), adalah bentuk-bentuk ibadah dan ibadah tidak boleh dibuat-buat sendiri bentuk ritualnya karena merupakan hak paten Allah dan Rasul-Nya. Sehingga kemungkinan pertama ini merupakan bentuk yang dilarang dalam agama, karena Rasul kita Shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda, مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ “Orang yang melakukan ritual amal ibadah yang bukan berasal dari kami, maka amalnya tersebut tertolak” [HR. Bukhari-Muslim] Perlu diketahui juga, bahwa orang yang membuat-buat ritual ibadah baru, bukan hanya tertolak amalannya, namun ia juga mendapat dosa, karena perbuatan tersebut dicela oleh Allah. Sebagaimana hadits, أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ “Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “ (HR. Bukhari no. 7049) Kemungkinan kedua, perayaan ulang tahun ini dimaksudkan tidak dalam rangka ibadah, melainkan hanya tradisi, kebiasaan, adat atau mungkin sekedar have fun. Bila demikian, sebelumnya perlu diketahui bahwa dalam Islam, hari yang dirayakan secara berulang disebut Ied, misalnya Iedul Fitri, Iedul Adha, juga hari Jumat merupakan hari Ied dalam Islam. Dan perlu diketahui juga bahwa setiap kaum memiliki Ied masing-masing. Maka Islam pun memiliki Ied sendiri. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, إن لكل قوم عيدا وهذا عيدنا “Setiap kaum memiliki Ied, dan hari ini (Iedul Fitri) adalah Ied kita (kaum Muslimin)” [HR. Bukhari-Muslim] Kemudian, Ied milik kaum muslimin telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya hanya ada 3 saja, yaitu Iedul Fitri, Iedul Adha, juga hari Jumat. Nah, jika kita mengadakan hari perayaan tahunan yang tidak termasuk dalam 3 macam tersebut, maka Ied milik kaum manakah yang kita rayakan tersebut? Yang pasti bukan milik kaum muslimin. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda, من تشبه بقوم فهو منهم “Orang yang meniru suatu kaum, ia seolah adalah bagian dari kaum tersebut” [HR. Abu Dawud, disahihkan oleh Ibnu Hibban] Maka orang yang merayakan Ied yang selain Ied milik kaum Muslimin seolah ia bukan bagian dari kaum Muslimin. Namun hadits ini tentunya bukan berarti orang yang berbuat demikian pasti keluar dari statusnya sebagai Muslim, namun minimal mengurangi kadar keislaman pada dirinya. Karena seorang Muslim yang sejati, tentu ia akan menjauhi hal tersebut. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan ciri hamba Allah yang sejati (Ibaadurrahman) salah satunya, والذين لا يشهدون الزور وإذا مروا باللغو مروا كراما “Yaitu orang yang tidak ikut menyaksikan Az Zuur dan bila melewatinya ia berjalan dengan wibawa” [QS. Al Furqan: 72] Rabi’ bin Anas dan Mujahid menafsirkan Az Zuur pada ayat di atas adalah perayaan milik kaum musyrikin. Sedangkan Ikrimah menafsirkan Az Zuur dengan permainan-permainan yang dilakukan adakan di masa Jahiliyah. Jika ada yang berkata “Ada masalah apa dengan perayaan kaum musyrikin? Toh tidak berbahaya jika kita mengikutinya”. Jawabnya, seorang muslim yang yakin bahwa hanya Allah lah sesembahan yang berhak disembah, sepatutnya ia membenci setiap penyembahan kepada selain Allah dan penganutnya. Salah satu yang wajib dibenci adalah kebiasaan dan tradisi mereka, ini tercakup dalam ayat, لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” [QS. Al Mujadalah: 22] Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin -rahimahllah- menjelaskan : “Panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalannya. Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do’a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : “Semoga Allah memanjangkan umurmu” kecuali dengan keterangan “Dalam ketaatanNya” atau “Dalam kebaikan” atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadang kala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka” [Dinukil dari terjemah Fatawa Manarul Islam 1/43, di almanhaj.or.id] Jika demikian, sikap yang Islami dalam menghadapi hari ulang tahun adalah: tidak mengadakan perayaan khusus, biasa-biasa saja dan berwibawa dalam menghindari perayaan semacam itu. Mensyukuri nikmat Allah berupa kesehatan, kehidupan, usia yang panjang, sepatutnya dilakukan setiap saat bukan setiap tahun. Dan tidak perlu dilakukan dengan ritual atau acara khusus, Allah Maha Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi di dalam dada. Demikian juga refleksi diri, mengoreksi apa yang kurang dan apa yang perlu ditingkatkan dari diri kita selayaknya menjadi renungan harian setiap muslim, bukan renungan tahunan. Wallahu’alam. Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/1584/slash/0 dan http://www.saaid.net/Doat/alarbi/6.htm Penulis: Yulian Purnama Artikel www.muslim.or.id Dari artikel Sikap Yang Islami Menghadapi Hari Ulang Tahun — Muslim.Or.Id by null